Kamis, 15 Februari 2018

God’s Own Country: Merangkul Takdir Merajut Asa

Film bertema LGBT sangat menarik diikuti di era keterbukaan informasi dan teknologi seperti sekarang. Lazim diketahui bahwa rezim otoriter dan pengancam hak asasi manusia telah banyak runtuh, terutama di dunia barat. Dengan demikian, kebebasan berekspresi semakin dijunjung tinggi (bahkan mulai menggantikan posisi agama yang semakin ditinggalkan manusia modern). Meski belum sepenuhnya menyetarakan kaum LGBT dengan mayoritas heteroseksual, situasi saat ini membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi sineas yang memiliki ide cerita cemerlang seputar LGBT di tengah penerimaan masyarakat akan identitas mereka yang semakin meluas. Pertanyaan-pertanyaan yang menggelitik seperti apakah konstruksi sosial yang di beberapa wilayah berhasil direka ulang menjadikan kaum LGBT semakin merasa diperlakukan adil? Apakah dengan adanya perubahan sosial tersebut terdapat pola yang berubah dalam kehidupan kaum LGBT? Atau mungkin yang paling mendasar: inikah perubahan yang diinginkan mereka selama ini? 

Saya bersyukur dan bisa dengan bangga mengatakan bahwa tahun 2017 adalah tahun yang positif untuk queer cinema. Beberapa judul film bertemakan LGBT yang rilis di tahun 2017 memiliki kualitas menakjubkan, bahkan ada yang cukup sukses dari segi komersialnya, suatu pencapaian yang relatif masih jarang terjadi. Salah satu alasan di balik fenomena membanggakan ini adalah karena para sineas film-film LGBT membawa ide cerita yang relevan dengan kehidupan kita saat ini, sehingga penonton seakan-akan diaktualisasikan dengan lingkukannya sendiri. Semakin membanggakan pula bila melihat fakta bahwa di antara judul-judul tersebut tidak sedikit yang merupakan buah tangan penggarap film panjang anyar, yang tentu saja menandakan masa depan menjanjikan queer cinema. Salah satu film bertema LGBT yang berhasil memukau saya adalah God’s Own Country (2017).

Gencar diperbandingkan dengan mahakarya Ang Lee Brokeback Mountain (2005), arsitek film Francis Lee (The Farmer’s Wife, The Last Smallholder) sebenarnya menawarkan ide cerita yang sangat original dan relevan. Mengetengahkan kehidupan seorang pemuda Yorkshire bernama Johnny Saxby (Josh O’Connor) yang harus rela mencurahkan segenap jiwa raganya untuk bekerja di peternakan keluarga setelah sang ayah Martin (Ian Hart) menderita stroke berat. Johnny Saxby tidak banyak mengeluh ketika ia diwariskan tugas berat mengelola peternakan tersebut. Namun, menghadapi fakta bahwa ia sama sekali tidak memiliki pilihan untuk menentukan hidupnya memaksa dirinya memberikan punggung dingin pada kehidupan. Ia menjalani kesehariannya dengan jadwal padat yang selalu berulang: bekerja, mabuk, dan seks bebas. Di tengah keteraturan yang amburadul itu, datanglah sosok Gheorghe Ionescu (Alec Secareanu), lelaki asing yang diperbantukan selama musim pengembangbiakan. Dengan kepribadian Gheorghe yang berbeda 180 derajat, Johnny sedikit demi sedikit merasa kehidupannya mulai dituntun ke arah baru yang sebelumnya tak pernah ia miliki keberanian untuk melangkah ke sana.

Sedari awal, penonton sudah dapat merasakan ada nuansa kaku di tengah keluarga Saxby. Johnny tampak seperti pemuda yang tidak banyak bicara. Martin dan sang nenek Deirdre (Gemma Jones) pun tidak banyak berbeda. Saat-saat mereka berkumpul bersama justru memperlihatkan suasana canggung, sehingga muncul kesan keluarga ini memiliki hubungan yang renggang satu sama lain. Lee yang bertindak sebagai penulis naskah dan sutradara dalam proyek ini terinspirasi dari kehidupan keluarga peternak Yorkshire, kampung halamannya sendiri yang tradisi dan kebiasaannya bukan hal asing lagi baginya. Hal tersebut membuat produk akhir ini terasa sangat otentik, tidak ada kesan yang dibuat-buat di sini. Penonton benar-benar dapat merasakan etos dan prinsip kaum peternak yang bersahaja, penuh dengan kerja keras, disiplin, pantang menyerah, dan sedikit antipati. Jenis kehidupan yang demikian dengan sempurna membungkus kepribadian Johnny yang tumbuh sebagai bagian dari generasi milennial tetapi terkungkung dengan tanggung jawabnya meneruskan sebuah usaha keluarga yang mungkin akan lebih tepat dikatakan sebagai tradisi kuno di masa sekarang. Sebuah pekerjaan dalam bentuk yang paling purba: mengandalkan otot, di tempat yang tak terhubung dengan koneksi internet, dan yang paling parah merampok kesempatan mencoba hal-hal yang dilakukan pemuda lain.

Namun, keunggulan naskah Lee ada pada kemampuannya untuk menghindari jebakan dramatisasi berlebihan akan suratan takdir yang tak diinginkan. Lee tidak menciptakan karakter Johnny sebagai pemuda idealis yang tergila-gila pada mimpinya di langit ketujuh. Johnny bukan pula tipe orang yang menginginkan jalan pintas alias meninggalkan tanggung jawabnya demi mengejar kepentingan pribadinya. Lee justru menjebloskan karakter Johnny ke dasar kenyataan hidup. Ia berusaha sekuat tenaga merawat domba-domba, memperbaiki pagar-pagar, dan mengusahakan harga terpantas dalam penjualan hewan ternaknya. Alhasil, Johnny tampil sebagai pemuda dengan kegigihan yang terpancar kuat di layar. Memang benar bahwa ia belum sepenuhnya dapat menerima kenyataan bahwa masa mudanya akan dihabiskan di tanah peternakan keluarga, itu jelas. Johnny masih berharap Martin akan sembuh dan akan kembali memegang kendali peternakan. Dalam salah satu dialognya, Deirdre berkata pada Johnny, "We were this close to losing him. You gotta face that, lad!". Ditambah lagi, sebagaimana umumnya seorang pemuda, tentu saja ia memiliki keinginan untuk kuliah dan bersenang-senang di kota besar seperti teman-temannya. Harapan Johnny itulah yang membuat karakternya semakin menarik. Penonton pun akan memahami seandainya Johnny bekerja di peternakan itu hanya karena terpaksa. Barangkali Johnny juga sudah tidak sabar menantikan akhir dari masa mudanya yang suram. Tetapi ia tahu bahwa itu semua tidak akan membuat dirinya lepas dari tanggung jawabnya sekarang. Naskah Lee dengan sangat anggun membuat Johnny sebagai pemuda tangguh tetapi memendam bara di dadanya. Kondisi Johnny tersebut membuat penonton bersimpati pada pemuda yang berada pada posisi serbasalah itu. Penonton menjadi peduli pada kehidupan Johnny dan ingin mengetahui bagaimana ia akan menyikapi permasalahannya. Karakter yang menuai simpati penonton ini merupakan pertanda akan kecermatan Lee mempelajari tokoh yang diciptakannya.

Pada skala yang lebih besar, naskah Lee bukan hanya berhasil menghindar dari jebakan melodrama, tetapi juga seperti yang telah saya sebut di atas, menawarkan ide cerita segar. Seksualitas Johnny bukanlah sumber konflik dalam narasi God's Own Country. Ia dimunculkan hanya untuk mengantarkan penonton ke pertemuan antara Johnny dan Gheorghe. Kisah asmara kedua lelaki ini pun bisa dibilang juga bukan tema sentral. Konflik dalam film ini ada di dalam diri Johnny sendiri. Di usianya yang begitu muda, Johnny telah dipaksa menghadapi keganasan hidup seorang peternak. Isi kepalanya terpusat pada bagaimana menjinakkan rutinitas sehari-harinya yang tidak kenal ampun: memeriksa kandungan hewan ternak, memberinya makan dan membersihkan kandang, mengatur keuangan, hingga memproduksi hasil ternak. Tidak ada ruang bagi Johnny untuk mengungkapkan apalagi mengejar mimpi-mimpinya. Semuanya semakin diperparah dengan suasana keluarga yang dingin. Meski dengan samar penonton dapat menganggap bahwa keluarga Saxby bukanlah keluarga yang berantakan (mari kita kesampingkan pertanyaan seputar ibu kandung Johnny), mengekspresikan kasih sayang sepertinya menjadi barang langka di sini. Menyentuh anggota keluarga lain pun bahkan seperti diharamkan, menimbulkan dugaan kuat bahwa kehidupan keluarga peternak bukan hanya sekedar keras dalam menghadapi pekerjaan, tetapi juga penuh dengan prasangka. Kita akan dibuat mafhum bahwa citra seorang peternak harus tangguh, kuat, dan perkasa. Sifat dan sikap sensitif seperti kasih sayang, nelangsa, dan kekecewaan akan dianggap sebagai kelemahan. Lee dengan luar biasa menjadikan warna kelam keluarga Saxby sebagai episentrum konflik. Adegan seperti Johnny yang diam-diam menggenggam tangan Martin di rumah sakit, ucapan terima kasih yang dangkal di bibir tetapi sedalam jurang dari Martin kepada Johnny, dan tangisan sunyi Deirdre saat menghirup baju putranya yang lebih dahulu terdegradasi dibanding dirinya.

Maka ketika Gheorghe membuktikan bahwa kelembutan dapat terjadi bahkan di tempat paling kejam sekalipun, Lee meracik proses metamorfosis karakter Johnny tanpa tergesa-gesa. Naskah Lee menunjukkan betapa ia berhati-hati dalam menguak gaung hasrat Johnny akan kasih sayang. Ia berupaya mengajak penonton untuk memahami sikap dingin Johnny pada Georghe di awal-awal pertemuan mereka. Meski harus diakui ada beberapa adegan kedua tokoh tersebut yang sangat terlihat picisan dan membuat saya menyunggingkan senyum getir, terlihat jelas bahwa Lee mempersiapkan perkembangan karakter Johnny dengan dengan sangat baik. Ia paham bahwa setelah sekian lama Johnny dipaksa menyembunyikan apa yang saya sebut di atas sebagai kelemahan, ia hanya bisa mulai belajar menerima kehangatan dari orang lain melalui gairah kebinatangan dalam ritme yang brutal. Dalam sebuah adegan yang menggetarkan hati (dan sensual), Lee menumpahkan titik kulminasi hasrat Johnny di ladang berlumpur. Adegan tersebut adalah big bang dalam jagad kehidupan Johnny. Sejak saat itu, ia belajar menikmati hidup. Dengan bantuan Gheorghe, ia bahkan berhasil mendekorasi ulang cakrawalanya. Ia belajar mensyukuri apa yang dimilikinya, yang ternyata tidak sesuram pandangannya selama ini. Johnny kini menjadi pribadi yang arif dalam merangkul takdirnya, dan bahkan mulai merajut asa bersama Gheorghe.

Sayangnya, saya menemukan naskah Lee kurang konsisten membangun karakter Gheorghe. Hal ini dapat ditelusuri misalnya dalam suatu adegan di mana ia mempertanyakan tawaran Johnny yang dengan malu-malu memintanya untuk tinggal bersama mengurus peternakan keluarganya. Dalam adegan itu Gheorghe yang sebelumnya diperkenalkan oleh naskah Lee sebagai sosok yang hampir tanpa identitas maupun kepentingan terselubung secara mendadak dan bertubi-tubi mengeluarkan pengakuan demi pengakuan yang diberikan secara samar. Ia pernah gagal dalam mengelola peternakan di tempat asalnya seraya dengan kabur mereferensikan hubungan asmara sebagai penyebabnya. Ia pun takut hal serupa akan terjadi bila tinggal bersama Johnny. Tak hanya itu, Gheorghe dalam adegan ini juga terkesan meragukan tawaran Johnny. Saya menangkap kesan bahwa Gheorghe belum bisa mempercayai cinta Johnny. Ia seakan tidak peduli bahwa untuk mengajukan tawaran itu pun Johnny harus mengorbankan citranya terdahulu sebagai pria mandiri yang tidak memerlukan orang lain. Reaksi Gheorghe dalam adegan ini sangat kontradiktif dengan sifat penuh kasih sayang, penyabar, dan perhatian yang ia tunjukkan di adegan-adegan sebelumnya. Saya tidak menyangka bahwa ia akan bersikap begitu defensif terhadap tawaran Johnny. Hal ini menimbulkan pertanyaan di benak saya apakah Gheorghe benar-benar ingin menjalin hubungan dalam suatu komitmen? Mengapa ia begitu peduli untuk menyuntikkan semangat cinta pada Johnny bila ia sendiri tidak menginginkannya? Lebih mendasar lagi, mengapa sebelum adegan ini ia merespon sinyal perasaan Johnny bila ia justru menghindari terulangnya pengalaman pahit di masa lalu?

Semua pertanyaan itu menyadarkan saya bahwa naskah Lee tidak mempersiapkan karakter Gheorghe dengan cukup solid seperti pada kasus Johnny. Kita tahu bahwa Gheorghe memang peran pendukung di sini. Namun, karena penonton seperti saya sebut di atas kadung peduli terhadap karakter Johnny, maka sikap defensif Gheorghe terhadap tawaran Johnny mau tidak mau membuat kita butuh identitas dirinya yang lebih komprehensif daripada hanya sekedar mengetahui tempat asalnya dan pekerjaan ibunya. Sebagai penonton, kita ingin tahu sejarah percintaan yang ia katakan menjadi penyebab kegagalannya. Kita ingin tahu mengapa dirinya pindah ke Inggris. Kita ingin tahu bagaimana ia mengenal keluarga Saxby. Namun demikian saya paham bahwa keingintahuan ini sulit diakomodasi oleh naskah Lee yang sepertinya memang bertekad untuk menghemat dialog.

Saya sendiri pun sudah cukup kagum dengan kepiawaian Lee mengemas naskah yang hemat dialog ini menjadi suatu kisah yang berlapis. Tanpa banyak mendengar cerita tentang keluarga Saxby, kita sudah dapat menikmati dinamika hubungan Johnny, Martin, dan Deirdre yang cukup intens. Kita tahu bahwa meskipun seksualitas Johnny tidak pernah menjadi isu di sini, namun mereka bertiga tidak pernah menyinggung hal ini secara terbuka. Dengan kondisi seperti ini, penonton dapat sangat merasakan adanya perasaan canggung setiap kali Martin atau Deirdre mendeteksi kedekatan Johnny dan Gheroghe. Perasaan canggung tersebut begitu kentara dari raut wajah dan sinar mata Martin dan Deirdre sampai-sampai saya membayangkan mereka berkata dalam hatinya "I know what you did last night" hahaha... Namun, lebih dari rasa canggung, Lee juga menunjukkan bahwa Martin dan Deirdre menyimpan kekhawatiran bahwa kedekatan Johnny dengan Gheorghe akan mengalihkan fokus pemuda itu dalam mengurus peternakan. Dengan cerdas, Lee menciptakan jawaban akan kekhawatiran tersebut dalam sebuah adegan yang sangat powerful (yang menjadi favorit saya) antara Johnny dan Martin. Adegan ini mengingatkan saya pada monolog yang tak kalah mengagumkan di akhir film Call Me by Your Name (2017). Saya akan selau terlena melihat dua anggota keluarga beda generasi duduk bersama untuk mendengarkan sebuah pengakuan yang bisa saya bayangkan sangat sulit diungkapkan.

Meski dengan dialog minimalis, Lee nyatanya sempat meresonansikan komentar sosial dalam naskahnya. Ia secara tidak langsung menampik anggapan bahwa pada kondisi sosial saat ini kaum LGBT masih mendapatkan perlakuan keji. Sebaliknya, melalui God's Own Country, ia seolah menunjukkan bahwa di tempat paling terpencil pun LGBT bisa diterima menjadi bagian dari anggota keluarga dan masyarakat, sehingga tidak perlu terlalu dibesar-besarkan lagi. LGBT hanyalah sekedar ekspresi diri yang membuat manusia merasa nyaman dengan dirinya sendiri. Fakta bahwa LGBT menjadi sebuah komunitas minoritas yang bergerak begitu masif di berbagai belahan dunia memang menjadi pemandangan yang melegakan, karena satu lagi penindasan ditaklukan di dunia ini. Namun ia tidak bisa menjadi obat mujarab bagi setiap permasalahan pemeluknya. Singkatnya, LGBT hanyalah sebuah identitas yang sedang dirayakan karena keberadaannya yang sekian lama terkungkung, tetapi tidak lebih dari itu. Pada masa kini, ada permasalahan lain yang lebih mendesak untuk diperhatikan. Lee sendiri lebih memilih untuk mengetengahkan isu imigran dan xenophobia dalam filmnya ini. Diperkuat dengan fenomena politik brexit, kedua isu ini menjadi semakin relevan dengan narasi God's Own Country.

Lee tampaknya juga tidak dapat membayangkan naskahnya diarahkan selain dirinya, dan saya berterima kasih padanya untuk ini. Sebagai penulis naskah, Lee tahu persis nuansa yang ingin ia tampilkan dalam ceritanya. Elemen pertama yang terlihat jelas adalah aktivitas fisik yang menguras tenaga di sepanjang film. Dengan bijaksana Lee memperlihatkan kemampuan yang nyata dari kedua aktornya bekerja di peternakan. Tidak ada kesan buatan di sini. Semuanya ditampilkan apa adanya, dan sebagai penonton kita dapat merasakan naturalitas dan spontanitas dari gerak tubuh mereka. Gerak tubuh memang menjadi bahasa yang penting dalam God's Own Country. Bahkan kita tidak akan mendengar sepatah kata pun dari Johnny - sang tokoh utama - hingga lebih dari lima menit penampilannya di layar, itu pun ia hanya berbicara pada seekor sapi. Lee dengan detail memperlihatkan efek fisik dari tarikan otot-otot, gerak tangan, dan langkah kaki kedua aktor utamanya. Usut punya usut, Lee sengaja memberikan waktu pada kedua aktornya untuk belajar mengerjakan semua aktivitas yang kita lihat di film ini. Selain itu, arahan Lee juga berhasil menyajikan kehidupan keluarga Saxby yang penuh dengan emosi tak terungkap. Dinamika yang dipermainkan Lee dalam keluarga Saxby mengingatkan saya pada keluarga Baker dalam Flipped (2010), buah karya Rob Reiner. Kedua keluarga fiksi ini meski berbeda jauh dari segi kuantitas obrolan mereka tetapi sama-sama memendam harapan yang disimpan terlalu lama ibarat bom waktu. Kedua sutradara ini memanfaatkan dengan baik nilai kebajikan dari sebuah sikap diam.

God's Own Country tidak dapat berdiri dengan perkasa tanpa banyak berutang pada aktor-aktornya. Mereka adalah tulang punggung naskah Lee yang hampir tanpa cacat. Mulai dari O'Connor dan Secareanu hingga Hart dan Jones semuanya memberikan penampilan ulung. O'Connor yang dibesarkan di layar televisi dan pernah mencicipi pemeran pembantu dalam produksi besar beberapa film benar-benar menunjukkan transformasi Johnny yang meyakinkan. Ia begitu menyebalkan tetapi mengibakan di awal cerita dan terus keluar dari kepompongnya hingga menunjukkan warna asli kepribadiannya yang polos dan haus kasih sayang. Saya sangat senang mendengar nada bicara Johnny yang meskipun dengan aksen luar biasa tebal tetapi menyiratkan betapa kosong jiwanya. Ada satu kalimat favorit saya dari Johnny, yaitu "I guess I just mean for longer... That'd be sweet, right?" Nada bicaranya terdengar seperti seorang anak kecil yang meminta permen pada ibunya. That tone literally kills me hahaha... O'Connor juga dengan cekatan memperlihatkan perbedaan ekspresi wajahnya ketika berbicara dengan Martin, Deirdre, dan Gheorghe di awal dan akhir film tanpa banyak disadari oleh penonton. Menemani O'Connor di sebagian besar durasi film adalah Secareanu, aktor Rumania yang diamnya menghanyutkan hati siapapun yang bersamanya. Di sini, ia menguarkan aura kuat perasaan yang tak terungkap yang menyebabkan kehadirannya di layar sangat menonjol meski tanpa kata-kata. Secareanu membuat Gheorghe tampil lebih dari sekedar pemikat hati, sebuah peran yang umum dimainkan aktor tampan lainnya dengan sangat membosankan. Kedua pemeran veteran Hart dan Jones juga dengan lihai memajang prasangka, keresahan, dan kekhawatiran selayaknya yang dimiliki orang tua tetapi di saat bersamaan dapat mengecoh penonton yang tidak memahami karakter mereka. Kudos for both of them.

Difilmkan dengan gaya realisme yang sangat kental oleh penata gambar Joshua James Richards, God's Own Country mempersembahkan panorama alam Yorkshire yang sulit dilupakan. Tetapi lukisan Tuhan itu baru dapat kita saksikan setelah puas dihadapkan pada pengambilan gambar wajah-wajah aktor dari jarak dekat. Ya, hampir 90% layar God's Own Country memang hanya diisi dengan wajah aktor. Tetapi pengambilan gambar demikian memberikan akses kepada penonton untuk benar-benar merasakan keintiman dari semua tokoh. Richards baru melepaskan pandangan kameranya ke arah langit, hamparan tanah, dan tebing terjal Yorkshire setelah karakter Gheorghe sedikit demi sedikit membawa perubahan pada Johnny. Di sini, dengan cermat Lee dan Richards memosisikan penonton untuk melihat dari sudut pandang Johnny. Hasilnya, saat kita melihat pemandangan alam itu akan timbul semacam perasaan lega dan bahagia. Sungguh sebuah kerja cerdas.

Hadirnya dinamika kehidupan keluarga peternak yang memengaruhi jiwa seorang pemuda membuat kita harus segera menghentikan perbandingan antara God's Own Country dan Brokeback Mountain. Karya Ang Lee tak dapat dipungkiri merupakan sebuah pencapaian monumental dari perjalanan queer cinema. Namun ide ceritanya telah usang dipakai ratusan kali di film bertema LGBT lain. Penonton merasa telah berulang kali menyaksikan kisah penolakan homoseksualitas di komunitas yang tidak manusiawi. Di sisi lain, God's Own Country lahir dari kacamata seorang putra asli peternak daerah yang tumbuh di tengah masyarakat yang semakin liberal dan lebih mengkhawatirkan kesejahteraan ekonomi dan masa depan. Konflik vertikal antargenerasi yang dihadirkan God's Own Country lebih bersifat praktikal ketimbang prinsipil. Meski ada hal yang membuat saya bertanya-tanya pada jalan ceritanya, God's Own Country telah menambah khasanah queer cinema yang berkualitas. 4 out of starts for me. Ada yang punya komentar?



Watch this if you liked:

 Quand On a 17 ans (Being 17) (2016)

Director: André Téchiné
Stars: Céline Sciamma, Kacey Mottet Klein, Corentin Fila
Genre: Drama, Romance
Runtime: 116 minutes











Call Me by Your Name (2017)

Director: Luca Guadagnino
Stars: Armie Hammer, Timothée Chalamet, Michael Sthulbarg
Genre: Drama, Romance
Runtime: 132 minutes
 

15 komentar:

  1. Gila baru kali ini ada yang review film dengan pemilihan diksi yang bagus. Berasa lagi mentoring sama ivan lanin haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Danu Salim

      Saya masih tidak ada apa-apanya ketimbang suhu Ivan Lanin hehehe...
      Saya cuma mencoba jadi penutur asli bahasa Indonesia yang baik, tapi tentu masih jauh dari sempurna.

      Omong-omong sudah nonton film ini kah?

      Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya ya.

      Hapus
  2. Sudah, akhirnya ��
    Sbnr nya sdh dgr2 ttg film ini dr dulu tp krn msh terobsesi dg CMBYN, sy sengaja menunda menonton film ini dg segera demi menikmati dan menyerap keindahan cerita CMBYN. Skrg setelah merasa cukup waktu dg CMBYN, baru sy tonton GOC ini daaan.. luar biasa! Terpaksa sy hrs akuin bahwa tdk semua happy ending movie itu jelek :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hi Fria

      Yup, terkadang memang akhir bahagia dibutuhkan kala kita merasa proses yang terjadi sebelumnya telah membentuk lingkaran sempurna, sehingga akhir bahagia tersebut ibarat buah manis yang pantas didapatkan.

      Berbicara tentang Call Me by Your Name, saya justru termasuk salah satu orang yang kurang menyukai hasil filmnya. Mungkin penyebabnya adalah saya gandrung membaca novelnya terlebih dahulu yang rasa dan emosinya terpampang nyata di hadapan pembaca ketimbang versi film. Tapi tentu saja buku dan film memiliki karakter masing-masing yang tidak bisa dibandingkan begitu saja. Saya juga berpikir Call Me by Your Name sama sekali bukan film buruk, hanya saja terasa kurang "gres" karena Luca Guadagnino sangat fokus dalam membangun "suasana hati" Elio dan kurang tajam mengasah interaksi antara Elio dan Oliver. Tapi tentu saja ini hanya pendapat pribadi hehehe

      Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya ya.

      Hapus
  3. Terimakasih ulasannya
    Sy d buat patah hati oleh CMBYN dan di obati oleh God's Own Country
    Benar2 film romansa yg cerdas....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo Ita Nurkamilah

      Wah Anda rupanya juga sudah menonton kedua film bertema percintaan sesama jenis itu ya?

      Setuju dengan pendapat Anda bahwa God's Own Country ini memang romansa yang cerdas, dalam arti sangat sensitif membungkus kehidupan pemuda homoseks di kota kecil. Saya rasa siapapun yang bersikap netral dan mau membuka pikiran akan mafhum sekali dengan pesan yang disampaikan dalam film ini bahwa pada akhirnya kita semua patut mendapatkan cinta dari siapapun dan dalam bentuk apapun yang kita sukai.

      Senang sekali atas kunjugannya. Lain kali mampir dan komentar lagi ya :)

      Hapus
    2. Iya
      Sy membaca banyak ulasan n coment d youtube ttg film tsb
      Awal2 d buat bingung dg bahasa inggrisnya kecuali giorghie, belakangan sy sadar ternyata aksennya pake inggris yorkshire.... bahkan penonton yg asli org amerika jg hrs berusaha keras utk bisa memahami bahasanya...apalagi sy.
      Sy kasih bintang 4.5/5 utk film ini berani menampilkan gambar nude (josh n alec dlm satu frame utk bagian pusar k bawah) tp d kemas dg begitu artistik,,,,
      Sy berharap film2 kita bisa menyamai qualitas film2 british atau hollywood minimal masuk nominasi kategori berbahasa asing terbaik,,,, kayaknya bakal jd prestasi luar biasa utk sineas2 kita....Film Iran, Turki n India sdh mencapai prestasi tsb.

      Hapus
    3. Harus diakui aksen bahasa Inggris di film ini memang sulit ditangkap telinga non-penutur bahasa Inggris asli.

      Untuk adegan tanpa busana, syukurnya sutradara film ini tidak mengarah ke pengambilan gambar erotis dan sensual yang semata-mata vulgar demi menarik banyak minat penonton, khususnya kaum LGBT. Semua adegan tanpa busana di film ini saya rasa lebih ke penggambaran dari wujud emosi yang terbendung dan tidak dapat diungkapkan selain dengan hasrat kebinatangan.

      Semoga harapan mba dan seluruh masyarakat Indonesia terkabul ya, bahwa perfilam kita bisa bersaing secara kualitas di dunia internasiona. Tapi sayangnya kalau menilik dari judul-judul film yang berseliweran di bioskop sekarang belum banyak ide segar yang diolah dan berhasil dipasarkan ke tengah masyarakat. Sepertinya para pembuat film Indonesia menangkap bahwa selera tontonan masyarakat kita hanya berkutat pada drama percintaan remaja,horror, dan komedi. Sementara film-film berlatar belakang sejarah kurang dibuat otentik dan film biografi orang terkenal pun alih-alih menginspirasi malah dieksploitasi habis-habisan demi menjual penderitaan dan sisi lain orang tersebut yang sebenarnya hanya trivia belaka.

      Makasi komentar baliknya ya mba :)

      Hapus
  4. waw suatu sinopsis yang penejelasannya sangat unik dan bagus. saya sebagai penonton awam yang setelah melihat sinopsis anda melihat film ini dari sudut pandang yang berbeda. Ya untuk film CMBYN saya akui endingnya membuat heartbroken tapi tidak dengan GOC ini. salute untuk anda :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo DPR

      Salutnya ditujukan ke pembuat film ini saja mas, kalau saya hanya penikmat hasil akhir yang mereka jual saja hehehe...

      Terima kasih atas kunjungan dan komentarnya ya, ditunggu komentar-komentar lainnya :)

      Hapus
  5. Suasana filmnya yang begitu relevan dengan kehidupan sehari-hari patut diacungi jempol, seolah semuanya adalah kejadian nyata dan tidak mengada-ada. Saya pernah di posisi johny dan saya melakukan hal yang sama karena perasaan bersalah terus mengganggu. Film ini berhasil membuat saya menangis. Oh God please take me to your country

    BalasHapus
  6. Review anda benar benar indah..dan luar biasa semua hal yg anda tuturkan.saya menyetujuinya..gods own country adalah film yg menghanyutkan.bahkan untuk kaum hetero...

    BalasHapus
  7. Wah Film ini mampu menggeser posisi puncak film favorite ku
    1. GOH
    2. CMBYN
    3. Hawaii
    4. Shelter

    BalasHapus